Mengapa manajemen stratejik diperlukan di RS? Pertanyaan tersebut diatas menjadi sangat relevan dengan keadaan RS di Indonesia saat ini. Di dunia usaha, manajemen stratejik telah menjadi yang sangat menentukan pengembangan lembaga-lembaga kontemporer. Di Amerika Serika lebih dari 97% dari 100 perusahaan terkemuka dan 92% dari 1000 perusahaan melaporkan mempunyai usaha untuk melakukan perencanaan stratejik (Duncan 1997).
Konsep manajemen stratejik dipergunakan di sektor kesehatan di negara maju sejak tahun 1970an. Sebelumnya, berbagai lembaga pelayanan kesehatan tidak berminat untuk menggunakannya karena lembaga-lembaga tersebut banyak yang masih independen, merupakan lembaga non-profit, dan penganggaran pelayanan kesehatan diberikan berdasarkan ongkos pelaksanaan plus keuntungan.
DI Indonesia, hampir seluruh dari 325 RS Umum Daerah pada tahun 1995 tidak mempunyai konsep mengenai penulisan rencana stratejik sebagai pedoman untuk pengembangan kegiatan rumahsakit. Pelatihan yang diberikan oleh Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan FK-UGM bersama dengan Ditjen PUOD Departemen Dalam Negeri telah membawa perubahan ke arah pengembangan rencana stratejik. Akan tetapi hasil dari pelatihan nasional masih kecil dampaknya (Sufandi, Trisnantoro dan Utarini, 2000). Berdasarkan data tersebut, menarik untuk dicermati bahwa rumahsakit di Indonesia, khususnya RS pemerintah belum mempunyai motivasi untuk mengembangkan manajemen stratejik sebagai konsep dasar dalam sistem manajemennya. Oleh karena itu perlu ditekankan bahwa manajemen stratejik berguna di sektor rumahsakit untuk:
1. memahami perilaku kompetitif dalam sistem pelayanan kesehatan yang melibatkan rumahsakit, dokter, penggalian sumber biaya, dan manusia.
2. memahami perkiraan dampak strategi yang diambil terhadap posisi bersaing. Hal ini terjadi berdasarkan filosofi “survival” dimana untuk bertahan dan berkembang, sebuah rumahsakit harus mempunyai strategi pengembangan.
3. memahami aspek komitmen dari sumber daya manusia. Dengan menggunakan konsep manajemen stratejik akan terdapat pemahaman mengenai kadar komitmen sumber daya manusia untuk pengembangan rumahsakit. Dengan menyusun rencana stratejik, pelaksanaan, dan pengendalian stratejik maka akan terlihat kelompok sumber daya manusia yang mempunyai komitmen dan yang tidak.
Manfaat-manfaat manajemen stratejik di rumahsakit memang mungkin belum diperhatikan oleh seluruh sumber daya manusia di rumahsakit. Hal ini sebenarnya terkait sekali dengan keadaan yang terjadi di rumahsakit Indonesia dimana sudah menjadi kelaziman, rumahsakit tidak mampu memberi kehidupan yang layak untuk sumber-daya manusianya. Akibatnya sumber daya manusia rumahsakit, khususnya RS pemerintah cenderung untuk mencari tambahan pendapatan di luar rumahsakit. Ketika pendapatan di luar ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan dari rumahsakitnya, maka terjadilah kehilangan komitmen dan kehilangan pula nilai kompetitifnya.
Fenomena tersebut dapat dilihat pada maraknya kegiatan penyusunan rencana stratejik pada penghujung dekade 1990an. Dalam kegiatan tersebut, kelompok sumber daya manusia yang paling bersemangat adalah para manajer, sementara para klinisi cenderung untuk tidak bersemangat. Hal ini disebabkan para manajer rumahsakit sudah menyadari aspek kompetitif yang dapat mengurangi atau menambah pendapatannya. Sementara itu para klinisi belum merasakan adanya kebutuhan untuk pengembangan rencana stratejik. Apabila kelompok klinisi dominan dalam pengambilan keputusan di rumahsakit, maka konsep manajemen stratejik dengan proses penyusunan rencana stratejik, bukanlah hal penting untuk dilakukan.
Akibat yang terjadi adalah kehilangan daya saing pada jangka panjang. Dengan penurunan daya saing ini maka terjadilah apa yang disebut sebagai bulgurisasi rumahsakit pemerintah. Proses bulgurisasi ini berdasarkan pada konsep rumahsakit pemerintah sebagai lembaga inferior yang sama sekali tidak mempunyai daya saing. RS pemerintah atau dapat juga RS swasta (dalam konteks persaingan dengan RS luar negeri), hanya diminati oleh masyarakat miskin yang tidak mempunyai pilihan. Posisi bersaing untuk mendapatkan pasien kelas menengah ke atas tidak dipunyainya. Sementara itu subsidi rumahsakit pemerintah sangat kecil yang tidak mampu mengikat para staf rumahsakit untuk bekerja secara penuh waktu. Akibatnya mutu menjadi rendah yang hanya dimaui oleh masyarakat miskin yang tidak punya pilihan lain. Pada saat masyarakat miskin meningkat pendapatannya, maka pelayanan rumahsakit pemerintah akan ditinggalkannya. Filosofi manajemen stratejik dapat dipergunakan untuk menghindarkan rumahsakit pemerintah dari keterpurukan sebagai benda inferior. Hal inilah yang menjadi relevansi utama mengapa sebaiknya rumahsakit mengambil manfaat dari konsep manajemen stratejik.Sumber : Laksono Trisnantoro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar