Tentang Saya

Foto saya
Status dosen tetap di jurusan Analis Kesehatan Poltekkes kemenkes Banjarmasin, melalui blog ini saya ingin berbagi pada teman-teman yang menyukai perkembangan bidang kesehatan, terutama tentang manajemen kesehatan dan Laboratorium Kesehatan. Blog ini menyajikan berbagai materi perkuliahan, artikel, hasil penelitian bidang laboratorium kesehatan. Selain itu saya juga dosen pada PSKM Unlam, Akademi Kebidanan dan Akademi Keperawatan di Banjarmasin, Banjarbaru & Martapura. Buku yang telah telah diterbitkan oleh EGC Penerbit Buku-Buku Kedokteran Jakarta tahun 2009 berjudul Parasitologi Untuk Keperawatan. Buku lainnya yang telah disusun dan belum diterbitkan diantaranya buku Helmintologi Medik dan Protozoologi Medik untuk Analis Kesehatan.

Senin, 25 Oktober 2010

EXAM AT HOME

Jawab pertanyaan berikut dengan diketik rapi, kemudian bawa untuk diserahkan pada tanggal 29  Oktober 2010.

  1. Sebutkan nama organisasi saudara dan jelaskan lingkungan strategik (internal dan ekstrenal) yang berpengaruh terhadap organisasi saudara tersebut. 
  2. Bagaimana fenomena perubahan yang terjadi saat ini pada organisasi saudara. 
  3. Tuliskan visi dan misis organisasi saudara dan apakah sudah sesuai dengan kriteria pembuatan visi dan misi yang benar? dan jelaskan bagian mana yang tidak sesuai. 
  4. Jelaskan faktor-faktor yang menghambat terjadinya perubahan pada prilaku organisasi jika akan dilakukan perubahan 
  5. Jelaskan Strategi yang dapat diterapkan dalam melakukan perubahan pada organisasi saudara 
  6. Jelaskan langkah-langkah apa saja yang perlukan agar komitmen dapat dibentuk dalam rangka mencapai tujuan organisasi saudara 
  7. Agar pelayanan kesehatan memberikan kepuasan yang tinggi pada pelanggan, maka hal utama apa yang harus dilakukan pada organisasi saudara.
 Selamat  bekerja....

Kamis, 07 Oktober 2010

Plasmodium

Protozoa bersporozoa dari genus plasmodium adalah parasit amuboid intrasel vertebrata yang menghasilkan pigmen dengan satu habitat dalam sel darah merah dan lainnya dalam sel jaringan lain, penularan pada manusia melalui gigitan dari berbagai spesies nyamuk betina dari genus anopheles yang telah menyelesaikan siklus perkembangan seksual dalam tubuhnya (siklus sporogoni yang menghasilkan sporozoit infektif).
Penyakit malaria sudah dikenal sejak zaman Yunani. Klinik penyakit malaria khas, mudah dikenal, karena demam yang naik turun dan teratur disertai menggigil, maka pada waktu itu sudah dikenal demam tersiana (demam berulang tiga hari) dan kuartana (demam berulang empat hari). Disamping itu terdapat pula adanya kelainan pada limpa, berupa splenomegali (limpa membesar dan menjadi keras), sehingga tidak heran dulunya disebut sebagai demam kura. Namun awalnya penyakit ini dianggap sebagai penyakit hukuman para dewa karena terjadinya wabah disekitar kota Roma, yang kondisi daerahnya berawa-rawa yang mengeluarkan bau busuk disekitarnya, maka penyakit tersebut dinamakan malaria (mal = buruk, area = udara).
Abad ke XIX, Laveran menemukan bentuk pisang (gametosit) secara mikroskopis dalam darah penderita malaria, dan selanjutnya Ross, 1897 membuktikan penularan penyakit malaria oleh nyamuk Anopheles yang banyak terdapat di rawa-rawa.
Genus plasmodium merupakan penyebab penyakit malaria yang mempunyai keunikan, karena terdapat 2 macam tuan rumah, yakni manusia  sebagai "intermediate host " dan  nyamuk Anopheles sebagai " definitive host".
 
Genus plasmodium mempunyai 4 spesies penting dalam parasitologi medik, yaitu : (1) Plasmodium falcifarum (malaria tertiana maligna) : penyebab malaria tropika yang sering menyebabkan penyakit  malaria berat/malaria  otak  dengan kematian. (2) Plasmodium vivax (malaria tertiana benigna) : penyebab malaria tertiana yang ringan. (3) Plasmodium malariae : penyebab malaria quartana. (4) Plasmodium ovale (malaria tertiana ovale), jenis ini jarang sekali dijumpai,  umumnya banyak di Afrika dan fasifik barat.
Seorang penderita dapat dihinggapi oleh lebih dari satu jenis plasmodium. Infeksi demikian ini disebut Infeksi campuran (mixed infection). Umumnya paling banyak dua jenis parasit, yakni campuran antara P.falciparum dan P.vivax atau P.malariae. Kadang-kadang dijumpai tiga jenis parasit sekaligus, meskipun hal ini jarang terjadi. Infeksi campuran ini biasanya terjadi di daerah yang tinggi angka penularannya.
Selain yang ditemukan pada manusia spesies-spesies dari plasmodium juga ditemukan pada kera yang morfologinya mirip seperti pada manusia, di antaranya Plasmodium cynomolgi mirip Plasmodium vivax, Plasmodium knowlesi seperti Plasmodium falcifarum. Dan Plasmodium rodhaini yang dijumpai pada chimpanse, serta Plasmodium brasilianum yang mirip dengan Plasmodium malariae ditemukan pada kera di Amerika selatan.
Malaria umumnya menyerang pada daerah tropika dan subtopika, meskipun dilaporkan adanya kasus baru-baru di Turki yang memperlihatkan kapasitas dan daya bangkit yang besar dari penyakit ini muncul kembali pada daerah-daerah yang telah bebas dari plasmodium. Pada masa lalu, penularan terjadi pada banyak daerah beriklim sedang. Malaria daerah iklim sedang biasanya tidak setabil dan relatif mudah diawasi atau diberantas, sementara malaria daerah tropika seringkali lebih stabil, sukar diawasi, dan jauh lebih sukar diberantas.
Pada daerah tropika, malaria umumnya menghilang pada ketinggian di atas 6000 kaki. Plasmodium vivax dan Plasmodium falciparum misalnya, merupakan spesies malaria yang paling sering ditemukan, terdapat di Seluruh daerah malaria, dan Plasmdoium malariae juga tersebar luas tetapi jauh lebih jarang.sementara Plasmodium ovale jarang ditemukan kecuali di Afrika Barat, di mana tampaknya P ovale  mengantikan P vivax. Semua bentuk malaria dapat ditularkan secara artificial oleh transfusi darah atau penggunaan jarum bersama-sama di antara penderita bila salah satu terkena infeksi. Kasus “malaria jarum” seperti ini tidak menimbulkan infeksi hati atau eksoeritrositer; jadi relaps tidak terjadi. Infeksi alamiah (bukan penularan transplasenta) hanya berlangsung melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang terkena infeksi.
Penyakit malaria bertanggungjawab atas tingginya angka kematian di banyak negara dunia. Diperkirakan sekitar 1,5 juta hingga 2,7 juta jiwa melayang setiap tahunnya akibat penyakit ini. Penyebaran malaria juga cukup luas di banyak negara dunia termasuk Indonesia. Risiko yang lebih tinggi dihadapi oleh kaum wanita yang sedang hamil dan juga anak-anak kecil.
Pengawasan malaria tergantung pada pembersihan tempat perindukan nyamuk, perlindungan perorangan terhadap nyamuk (kasa, kelambu, obat nyamuk), pengobatan dengan obat supresi bagi orang yang kontak, dan pengobatan adekuat penderita dan pembawa parasit. Pemberantasa, suatu bidang yang sangat kompleks, memerlukan pemutusan kontak antara nyamuk Anopheles  dan manusia dalam jangka waktu yang cukup untuk mencegah penularan, dengan menghilangkan semua kasus aktif melalui pengobatan dan penyembuhan spontan.
 
Distribusi Geografik
Malaria ditemukan 64o Lintang Utara (Archangel di Rusia) sampai 32o Lintang Selatan (Cordoba di Argentina), dari daerah rendah 400 m di bawah permukaan laut (laut mati) samapai 2600 m di atas permukaan laut (Londiani di Kenya) atau 2800 m (Cochabamba di Bolivia) dan secara geografik.
Di Indonesia penyakit malaria ditemukan tersebar di seluruh kepulauan, terutama di kawasan timur Indonesia. Pada daerah transmigrasi dan daerah lain yang didatangi penduduk baru dari daerah non endemik sering terjadi letusan atau wabah yang menimbulkan banyak kematian. Lebih dari ½ penduduk Indonesia masih hidup di daerah terjadinya penularan malaria, sehingga beresiko tertular malaria.
Berulangnya kejadian luar biasa (KLB) malaria di Kabupaten Banyumas dalam selang waktu enam bulan (2003) menurut Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Prof Dr dr Umar Fahmi Achmadi MPH merupakan akumulasi akibat dari krisis ekonomi, perubahan iklim, mobilitas manusia, serta kendurnya pemantauan populasi nyamuk di wilayah itu (Kompas, 25 Januari 2003). Dengan demikian maka perlu kewaspadaan yang tinggi terhadap berulangnya wabah penyakit ini pada daerah-daerah yang pernah terjadi KLB atau belum terdeteksi.  
 
Cara Penularan
Waktu antara nyamuk mengisap darah yang mengandung gametosit sampai mengandung sporozoit dalam kelenjar ludahnya, disebut masa ingkubasi ekstrinsik sporozoit adalah bentuk infektif, penularan dapat terjadi dengan 2 cara ; (1) Penularan secara alamiah (melalui vektor) ; bila sporozoit dimasukkan kedalam badan manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles. (2) Penularan non alamiah (induced) ; terjadi bila stadium asexual dalam eritrosit secara tidak sengaja masuk dalam badan manusia dengan cara ; (a) Malaria bawaan ; terjadi pada bayi yang baru dilahirkan karena ibunya menderita malaria, penularan terjadi melalui tali pusat atau plasenta. (b) Secara mekanik ; terjadi melalui transfusi darah atau melalui jarum suntik yang tidak steril lagi ; cara penularan ini pernah dilaporkan terjadi di salah satu rumah sakit di Bandung pada tahun 1981, pada penderita yang dirawat dan mendapatkan suntikan intravena dengan menggunakan alat suntik yang dipergunakan untuk menyuntik beberapa pasien, dimana alat suntik itu seharusnya dibuang sekali pakai. (c) Secara oral; cara penularan ini pernah dibuktikan pada burung, ayam (P. gallinasium), burung dara (P.relection) dan monyet  (P. knowlesi).
Pada umumnya sumber infeksi malaria pada manusia lain yang sakit malaria baik dengan gejala maupun tanpa gejala klinis. Kecuali bagi simpanse di Afrika yang dapat terinfeksi oleh P.malariae belum diketahui ada hewan lain yang dapat menjadi sumber bagi plasmodium yang biasanya menyerang manusia. Infeksi malaria pada waktu yang lalu sengaja dilakukan untuk mengobati penderita neurosifilis yaitu penderita sifilis yang sudah mengalami kelainan pada susunan sarafnya. Cara ini sekarang tidak pernah dilakukan lagi. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya penularan alamiah seperti adanya gametosit pada penderita, umur nyamuk, dan kontak antara manusia dengan nyamuk.
 
Gejala Klinis
Perjalanan penyakit malaria terdiri dari serangan demam paroksisme, splenomegali, dan anemia (trias malaria). Gejala penyakit yang timbul berhubungan dengan beberapa masa inkubasi yang terjadi pada parasit, di antaranya berhubungan dengan masa inkubasi intrinsik, yaitu waktu antara sporozoit masuk dalam badan hospes sampai timbulnya gejala demam, biasanya berlangsung antara 8 – 37 hari tergantung spesiesnya, pada beratnya infeksi dan pada pengobatan sebelumnya atau pada derajat resistensi hospes, dan juga tergantung dari cara masuknya parasit dalam tubuh hospes. Masa prapaten berlangsung sejak saat infeksi sampai ditemukannya parasit malaria dalam darah untuk pertama kali, karena jumlah parasit sudah melewati masa ambang mikroskopik (microscopic threshold) Masa inkubasi intrinsik melalui penularan nyamuk tiap spesies plasmodium sebagai berikut ; Plasmodium falsifarum selama 12 hari, Plasmodium vivax dan ovale berlangsung 13 – 17 hari, dan Plasmodium malariae selama 28 – 30 hari.

Siklus Hidup
Siklus hidup keempat spesies malaria pada manusia umumnya sama. Proses ini terdiri dari fase seksual (sporogoni) dalam tubuh nyamuk Anopheles dan fase aseksual (skizogoni) dalam badan verteberata (manusia).
Fase aseksual mempunyai dua siklus, yaitu siklus dalam sel parenkim hati atau stadium jaringan (siklus skizogoni eksoeritrositer), dan dapat berlangsung dengan cara skizogoni eksoeritrositer primer (terjadi setelah sporozoit masuk dalam darah dan bersiklus dalam sel hati), dan skizogoni eksoeritrositer skunder (terjadi karena sebagian stadium eksoeritrositer bersimpan dalam sel hati, dalam beberapa bulan kemudian baru memulai siklusnya). Sedangakan fase aseksual dalam siklus eritrositer terjadi setelah pecahnya skizon hati dan merazoitnya memasuki sel darah merah.
Parasit malaria dalam siklus hidupnya membutuhkan dua hospes. Melalui aliran darah, nyamuk Anopheles betina menginokulasi sporozoit ke dalam tubuh manusia (1). Sporozoites menginfeksi sel hati (2) dan berkembang menjadi schizont (3), pecah dan mengeluarkan merozoites (4). (catatan, P. vivax and P.ovale memiliki stadium dormant [hypnozoites] berdiam dalam hati dan dapat menyebabkan kambuh kembali untuk menginvasi dalam darah beberapa minggu atau satu tahun kemudian)  sesudah memperbanyak diri dalam hati ini (exo-erythrocytic schizogony (A), selanjutnya parasit memasuki perkembangbiakan secara asexual dalam erythrocytes (erythrocytic schizogony) (B).  Merozoites menginfesi sel darah merah (5). Stadium ring, trophozoites mature selanjutnya menjadi schizonts, yang akan menghasilkan merozoites (6). Beberapa parasit berubah menjadi bentuk stadium sexual erythrocytic (gametocytes) (7).  Stadium parasit dalam darah penyebab terjadinya gejala klinis yang ditimbulkan oleh penyakit ini 
Gametocytes, jantan (microgametocytes) dan betina (macrogametocytes), masuk dalam tubuh nyamuk Anopheles melalui darah yang terisap (8). Dalam tubuh nyamuk parasit memperbanyak diri dengan cara sporogonic cycle (C). dalam tubuh nyamuk microgametes melakukan penetrasi ke macrogametes untuk menghasilkan zygotes (9). zygotes bergerak dan memanjang (ookinetes) (10) keluar dari dinding lambung nyamuk untuk berkembang menjadi oocysts (11). Oocysts tumbuh, matang, dan mengeluarkan sporozoites (12), selanjutnya hidup berdiam pada kelenjar saliva. sporozoites siap diinokulasikan ke tubuh manusia lainnya untuk kembali melangsungkan siklus hidupnya (1)
 
Diagnosa Laboratorium
Malaria biasanya dihubungkan dengan pasien yang mempunyai riwayat perjalanan ke daerah endemis, meskipun cara infeksi lainnya juga telah diketahui. Apabila ada permintaan di laboratorium untuk pulasan malaria, harus dibuat anamnesa dari pasien tersebut.  Beberapa hal yang perlu diketahui dari pasien, antara lain :
1. Apakah pasien pernah bepergian ke daerah endemis?
2. Apakah pasien sebelumnya pernah didiagnosa malaria? Apa spesiesnya?
3. Pengobatan apa (profilaksis atau yang lainnya) yang pernah didapat pasien untuk berapa lama? Bilamana dosis terakhir dimakan?
4. Apakah pasien pernah mendapat transfusi darah?
5. Apakah pasien pemakai obat terlarang?
6. Kapan spesimen darah diambil dan apakah ada gejala-gejala pada saat itu? Apakah ada tanda-tanda demam periodik?
Jawaban terhadap pertanyaan tersebut dapat membantu menyingkirkan kemungkinan infeksi dengan P.falciparum karena biasanya hanya spesies ini yang dapat menyebabkan kematian.
Seringkali diagnosis malaria diperkirakan dan hanya terdapat satu spesimen darah dalam laboratorium untuk pemeriksaan.  Meskipun demikian satu sediaan atau spesimen tidak dapat dipercayai untuk menyingkirkan diagnosis, terutama apabila telah digunakan pengobatan atau profilaksis parsial. Penggunaan obat malaria secara parsial dapat menyebabkan berkurangnya jumlah organisme akibatnya pada pulasan darah hanya dijumpai sedikit organisme, yang menggambarkan parasitemia yang rendah padahal pasien sedang menderita penyakit yang berat.  Jumlah parasit yang sedikit pada sediaan darah dapat juga terjadi pada fase awal atau relaps.
Diagnosis malaria di laboratorium dapat dilakukan dengan berbagai cara, di antarnya diagnosis dengan mikroskop cahaya, teknik mikroskop khusus, dan metode tanpa menggunakan mikroskop.
 
Diagnosa dengan mikroskop cahaya
Sampai saat ini pemeriksaan malaria secara mikroskopis cahaya merupakan cara diagnosis laboratorium yang paling di andalkan dibanding dengan cara pemeriksaan lainnya, sehingga secara teknis, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam diagnosis laboratorium secara mikroskopis ini perlu dikendalikan hal-hal sebagai berikut ;
1. Dianjurkan untuk mengambil darah dari ujung jari apabila hanya sedikit darah yang dibutuhkan (tidak ada permintaan pemeriksaan lainnya) dan harus aseptis.
2. Darah yang keluar harus bebas ketika diambil untuk membuat sediaan dan tidak boleh tercampur dengan alkohol yang dipakai untuk membersihkan jari sebelumnya.
3. Darah dapat dikumpulkan dengan mempergunakan antikoagulan EDTA. Tetapi bila disimpan untuk waktu yang lama, titik-titik dalam eritrosit yang terinfeksi tidak akan terlihat (misalnya P.vivax).  perlu diingat bahwa perbandingan yang akurat antara darah dan antikoagulant penting untuk mendapatkan morfologi parasit yang baik.
4. Dianjurkan untuk membuat sediaan darah tipis dan tebal, diutamakan dengan cara/metode sediaan darah tebal, dengan kriteria : (a) diameter sediaan darah atau lebar sisi 1 cm. (b) tebal darah 20 mikron, yang dapat dicek dengan meletakkan tulisan/koran ukuran sedang dibawah sediaan, tulisan tersebut masih dapat terbaca atau terlihat di bawah mikroskop.
5.  Setiap lapangan pandang (LP) mikroskop terdapat  +10 – 20 leukosit.
6.  Sediaan darah diwarnai dengan giemsa 5% selama 45 – 60 menit atau 10% selama 15 – 20 menit. Larutan giemsa harus selalu dibuat baru saat akan digunakan.  Larutan dibuat sesuai kebutuhan dengan perhitungan 1 ml larutan untuk setiap slide. Dapat juga digunakan pulasan lainnya yaitu wright atau wright-giemsa.
7. Parasitemia rendah dengan bentuk cincin yang tidak jelas menyebabkan parasit tidak terdeteksi sehingga dianjurkan untuk memeriksa dengan minyak emersi atau anisol dengan pembesaran 500 – 600kali (5 atau 6 x 100)
8. Paling sedikit diperiksa 100– 150 LP ( telah melihat 1000 – 1500 leukosit) sebelum melaporkan suatu hasil yang negative, karena satu set sediaan dengan hasil negatif belum menyingkirkan kemungkinan malaria,  harus dilakukan pemeriksaan lagi 36 jam kemudian.
9. Jumlah LP yang diperiksa harus ditambah apabila pasien menelan obat profilaktit dalam 48 jam terakhir (jumlah sel yang terinfeksi dapat berkurang).
10.Setiap laboratorium yang mempunyai ahli untuk melakukan identifikasi malaria harus siap selama 24 jam/ 7 hari seminggu.
11.Penulisan Hasil Pemeriksaan ; (a) Kebutuha epidemiologi ; F (P.falsifarum +)jika ditemukan ring, F+g (P.falsifarum +) jika ditemukan ring dan gametosit pisang (khas), Fg (P.falsifarum +) jika hanya ditemukan bentuk gametosit pisang (khas), V (P.vivax +) jika ditemukan bentuk tropozoit ameboid dan bentuk vivax lainnya, M (P.malariae +) jika ditemukan bentuk tropozoit dan lainnya dari P.malariae, Mix (jika ditemukan bentuk khas dari P.vivax dan atau P.falsifarum, atau Pmalariae. (b) Tingkat Puskesmas atau rumah sakit ; cukup disebutkan negatif atau positif dengan keterangan jenisnya : Pf, Pv, mix atau gametosit Pf. (c) Evaluasi diagnostic dan terapi ; secara khusus hasil pemeriksaan ditujukan untuk mengetahui kepadatan parasit malaria, dan dapat dituliskan menurut cara WHO : Tidak ditemukan plasmodium pada 100 LP ; (-) negative, ditemukan 1–10 pada 100 LP ; (+), ditemukan 11–100 pada LP ; (++). ditemukan 1–10 pada setiap LP ; (+++). ditemukan 11–100 pada setiap LP ; (++++). (d) Pemeriksaan Cross – Check ; Setiap sediaan yang positif dan 5% dari sediaan negatif yang dipilih secara acak dikirim ke laboratorium malaria dinkes kabupaten atau provinsi untuk diperiksa ulang dalam rangka pembinaan dan pemantauan kualitas mikroskopis yang melakukan pemeriksaan lebih awal.
Ketenagaan dan ruangan kerja di Rumah Sakit atau Puskesmas dengan Perawatan ; Perlu adanya tenaga yang dapat melayani pemeriksaan laboratorium secara cito agar hasilnya dapat segera diketahui. (a) Tenaga tersebut tidak harus dikhususkan untuk pemeriksaan malaria.  Analisis yang bekerja di laboratorium RSU perlu diikutsertakan dalam penataran mikroskopis malaria. (b) Laboratorium pemeriksaan malaria perlu diberikan tempat kerja khusus, tidak perlu ruangan khusus, yang mempunyai ventilasi dan penerangan yang cukup baik melalui jendela yang lebar maupun lampu penerangan yang terang, ada wastafel dengan air mengalir, meja mikroskop dengan kursi yang dapat diatur tinggi rendahnya, almari penyimpan mikroskop yang selalu kering dan mempunyai lampu 25 – 40 watt yang selalu menyala sehingga mikroskop tidak rusak karena jamur yang tumbuh ditempat yang lembab. (c) Peralatan dan Bahan Laboratorium ; diperlukan paling sedikit sebuah mikroskop monokuler berbentuk tubus tanpa prisma dengan lensa okuler 5x, objektif 100x dan bekerja dengan cermin cekung serta mempunyai alat penggeser objek yang diperiksa. Tersedia dalam jumlah mencukupi : objek glass, vaksinostil steril, alat pensteril ulang untuk vaksinostil. Diperlukan alat-alat penunjang : buku register pemeriksaan, tempat penyimpanan vaksinostil yang sudah steril, kotak penyimpan objek glass, pipet sederhana, gelas ukur 100 cc dan 10 cc, rak pengering, kapas, sabun deterjen, kain lap, alat tulis dan spidol. Bahan kimia yang diperlukan : giemsa stok 100 cc, alkohol 70% sebanyak 1 liter, tablet buffer yang semuanya mencukupi kebutuhan untuk pemeriksaan 2000 SD selama setahun.  
Diagnosa menggunakan mikroskop khusus
1.  Teknik QBC (Quantitatif Buffy Coat) dengan pulasan jingga akridin yang berflouresiensi dengan pemeriksaan mikroskop flouresiensi.
2.  Teknik Kawamoto merupakan modefikasi teknik dengan pulasan jingga akridin yang memulas sediaan darah bukan dengan giemsa tetapi dengan jingga akridin dan diperiksa dengan mikroskop cahaya.

Metode tanpa mikroskop
Perkembangan teknologi laboratorium untuk mendeteksi penyakit malaria tanpa menggunakan mikroskop dengan cara mendeteksi protein atau asam nukleat parasit.
1.  Teknik dip-stick ; yaitu suatu metode untuk mendeteksi imuno-enzimatik suatu protein kaya histidine II yang spesifik parasit. Tes ini dapat dilakukan oleh petugas yang tidak terampil dan hanya sedikit membutuhkan latihan, dan dapat dilakukan untuk tes missal, namun tes ini masih mempunyai keterbatasan, di antaranya ; (a) Hanya spesifik untuk Plasmodium falsifarum (P.vivax dalam tahap perkembangan). (b) Tidak dapat mengukur secara kuantitatif densitas parasit. (c) Antigen yang masih beredar beberapa hari setelah parasit hilang masih memberikan hasil positif. (d) Gametosit muda mungkin masih dapat dideteksi. (e) Biaya masih cukup mahal.
2.  Metode berdasarkan deteksi asam nukleat ; yaitu hibridisasi DNA atau RNA.

Klasifikasi Sporozoa

Kelas sporozoa memiliki 3 (tiga) sifat yang berbeda antara genus yang satu dengan genus yang lain, perbedaan itu berupa : (1) Genus sporozoa yang hidup didalam sel darah merah dan memerlukan vektor biologis, sifat ini terdapat pada Genus Plasmodi­um. (2) Genus sporozoa yang hidup di dalam intestinal dan tidak memerlukan vektor biologis, sifat ini terdapat pada Genus Isospora dan Genus Eimerie. (3) Parasit yang hidup di dalam sel endotel, leukosit mono­nukleus, cairan tubuh, sel jaringan tuan rumah dan belum diketahui vektor biologisnya, sifat ini yang terdapat pada genus toxoplasma
Parasit yang termasuk dalam kelas sporozoa berkembangbiak secara aseksual (skizogoni) dan seksual (sporogoni) secara bergantian. Kedua cara berkembang biak ini dapat berlangsung dalam satu hospes, seperti yang terjadi pada subkelas Coccidia, sedangkan berlangsung dalam dua hospes yang berbeda terdapat pada sub kelas haemosporidia (plasmodium). Dalam buku ini yang dibahas adalah genus plasmodium dan genus toxoplasma. Kelas sporozoa tersebut diatas dapat diklasifika­sikan sebagaimana gambar berikut.




Selasa, 05 Oktober 2010

Trypanosoma cruzi

Trypanosoma cruzi penyebab Chagas disease, dan merupakan penyakit zoonotic yang dapat ditularkan pada manusia oleh kecoa genus triatoma. Distribusi geograpis meliputi wilayah America dari Negara-negara amerika latin, seperti Argentina. kebanyakan menyerang masyarakat miskin di daerah pedesaan bagian tengah dan selatan Amerika.  Pada Trypanosoma cruzi hospes reservoar selalu merupakan sumber infeksi dan vektor penularnya adalah Triatoma, di antaranya adalah Triatoma infestans, Rhodnius prolixus dan Panstrongyius megistus yang hidup disela–sela dinding rumah yang terbuat dari papan atau batu.
Penyakit Chronic Chagas merupakan masalah kesehatan yang tinggi, karena banyak masalah yang terjadi di Negara-negara latin Amerika, dengan peningkatan kasus, perpindahan penduduk, dan penularan melalui transfusi darah merupakan penularan yang menjadi permasalahan tersendiri di Negara-negara Amerika Latin.

Morfologi
Morfologi Trypanosoma cruzi  sulit dan hampir tidak dapat dibedakan dengan Trypanosoma gambiense dan Tryoanosoma rhodesiense
Pada Porte d’entree Stadium tripomastigot metasiklik dikelilingi oleh Makrofag dan kemudian masuk kedalamnya dan berubah menjadi stadium amastigot dan membelah. Banyak Makrofag yang diserang sehingga terbentuk suatu Granuloma (chagoma) yang dapat membendung aliran limfe. Bila hal ini terjadi pada kelopak mata pada salah satu mata (edema lenilateral) yang disebut gejala Romana’s sign.

Siklus Hidup
Melalui stadium promastigot dan epimastigot parasit ini masuk ke aliran darah dan berubah menjadi stadium tripomastigot kemudian terjadi parasitemia yang memberi gejala toksik. Parasit masuk ke alat–alat dalam yang mengandung sel RE sehingga menyebabkan terjadinya gejala splenomegali, hepatomegali dan limfate deropati, juga terjadi kelainan pada sumsum tulang karena penuh dengan parasit. Penderita sakit berat, demam dan sering ada gejala jantung sehingga penderita meninggal pada stadium akut ini. Hal ini biasanya terjadi pada anak, pada orang dewasa penyakitnya dapat menahun.
Vektor triatoma yang infekstif (atau “kissing” bug) mengambil darah dan sekaligus mengeluarkan trypomastigotes dalam tinja.  Trypomastigotes masuk dalam tubuh manusia melalui membrane mukosa, atau konjungtiva (1).  Spesies tratoma yang biasanya menjadi vector di antaranya adalah, Rhodinius, and Panstrongylus.  Masuk ke dalam tubuh host, trypomastigotes masuk dalam cells, dimana akan berubah menjadi amastigotes dalam sel (2).  amastigotes memperbanyak diri dengan cara binary fission (3) berubah menjadi trypomastigotes, dan selanjutnya masuk ke sirkulasi darah (4).  Trypomastigotes menginfek sel jaringan dan berubah bentuk pada intra sel menjadi amastigotes dan siap ditularkan.  Manifestasi klinik terjadi dari siklus infeksi ini.  Di saluran darah trypomastigotes tidak memperbanyak diri (berbeda dengan African trypanosomes).  Memperbanyak diri terjadi ketika parasit masuk pada sel atau termakan bersama vector.  Infeksi The “kissing” bug terjadi pada manusia atau darah binatang dalam proses sirkulasi (5).  trypomastigotes berubah menjadi epimastigotes dalam lambung vektor setelah tertelan dari manusia (6).  Parasit memperbanyak diri dan berubah bentuk di lambung vektor (7) dan berubah menjadi metacyclic trypomastigotes yang infektif dalam hindgut (8).


Diagnosa 

Diagnosa dengan (1) Menemukan parasit dalam darah pada waktu demam atau dalam biopsi kelenjar Limfe, Limpa, Hati  dan sumsum tulang (stadium tripomastigot dan stadium amastigot). (2) Menemukan parasit pada pembiakan dalam medium N.N.N (stadium epimastigot). (3) Xenodiagnosis dengan percobaan serangga triatoma atau eimex.
Ada beberapa uji Imunodiagnostik yang telah dikembangkan untuk mendeteksi adanya zat anti terhadap Trypanosoma Gambiense antara lain : (1) Uji Aglutinasi Card (card aglutination test for trypanosomiasis atau CATT) yang banyak digunakan dilapangan. (2) ELISA untuk mendeteksi adanya Antigen Tropanosoma didalam serum dan cairan serebrospinalis. (3) Card Indirect Angglutination Test (CIAT) yang merupakan modifikasi ELISA dengan uji Aglutinasi Lateks.
Reaksi anti Polimerase merupakan suatu cara yang cukup sensitif dan spesifik yang sedang dikembangkan untuk mendeteksi adanya DNA Tripanosoma didalam otak penderita yang meninggal akibat Ensefalopati pasca pengobatan serta DNA didalam kelenjar air liur dan lambung lalat tse – tse.

Pencegahan
Karena pengobatan efektif tidak ada maka penting untuk mengendalikan vektor dengan insektisida residuan dan pengrusakan habitat dan menghindarkan kontak dengan binatang sumber parasit. Penyakit Chagas yang terjadi di antara penduduk yang lingkungan ekonominya jelek, diperkirakan prevalensinya berjumlah 8.000.000 penduduk yang dihinggapi parasit ini dan banyak dari penduduk tersebut mempunyai gangguan jantung dan mengakibatkan harapan hidupnya berkurang. 

Trypanosoma rhodesiense

Trypanosoma rhodesiense erat hubungannya dengan Trypanosoma  gambiense, morfologinya sulit dibedakan. Stephans dan fantham pada tahun 1910 menemukan Trypanosoma rhodesiense dalam darah seorang pasien penyakit tidur. Mereka membedakannya dari Trypanosoma gambiense berdasarkan vektor penularnya, virulensinya dalam tikus, dan ditemukannya varian morfologi yang belum ada pada Trypanosoma gambiense.

Trypanosoma rhodesiense atau penyakit tidur Afrika Timur distribusinya lebih terbatas daripada Trypanosoma gambiense, yaitu ditemukan di Afrika Timur bagian tengah. Infeksinya lebih cepat fatal daripada infeksi Trypanosoma gambiense, dan binatang buruan seperti rusa semak (bushbuck) merupakan hospes reservoar alamiahnya.

Morfologi dan Siklus Hidup 
Siklus hidup dari Trypanosoma rhodesiense sama dengan Trypanosoma gambiense. Lalat tse tse sebagai penularan Trypanosoma rhodesiense adalah jenis Gloosina pallidipes dan Gloosina morsitans. Morfologi Trypanosoma rhodesiense pada lalat tse tse dan manusia sama dengan Trypanosoma gambiense, kecuali bila diinokulasikan pada binatang percobaan, bentuk inti posterior lebih sering ditemukan.  

Gejala Klinis 
Timbulnya kelainan yang disebabkan oleh Trypanosoma rhodesiense lebih cepat, dan lebih berat. Proses patologis pada stadium permulaan, sesuai dengan infeksi Trypanosoma gambiense; namun prosesnya lebih progresif sehingga kematian dapat terjadi sebelum timbul kelainan SSP yang berat, meskipun demikian kelainan pada SSP timbul dini.
Masa inkubasinya pendek, pada permulaan akan muncul tripomastigot dan jumlahnya akan bertambah dalam darah. Kelainan pada kelenjar limfe kurang terlihat, tanda Winterbottom mungkin tidak ada.lebih sering timbul, demam paroksismal, miokarditis atau gejala kuning dan pasien lebih anemis. Pada Tryponosomiasis gambia dapat timbul miokarditis, tetapi pada Trypanosomiasis rhodesia lebih sering dan berat.

Diagnosis 
Teknik yang digunakan sama dengan yang digunakan untuk menemukan Trypanosomiasis Gambia, hanya saja bentuk tripomastigot lebih banyak jumlahnya dalam darah pada bentuk Rhodesia. Trypanosoma rhodesiense lebih mudah dibiak daripada Trypanosoma gambiense, namun metode pembiakan bukan merupakan pendekatan yang praktis untuk diagnosis.

Epidemiologi dan Pencegahan 
Insiden dari infeksi Trypanosoma rhodesiense lebih sedikit dibanding Trypanosoma gambiense dan fokus distribusinya lebih sempit, hal ini dikarenakan lalat tse tse, vektor dari Trypanosomiasis rhodesia adalah umumnya pengisap darah binatang buruan dan dapat menularkan penyakit ini dari manusia ke manusia atau dari hewan ke manusia.
Infeksi Trypanosoma rhodesiense mengakibatkan penyakit akut disbanding kronis, pembawa penyakit atau karier bukanlah merupakan sumber penularan seperti pada Trypanosomiasis gambia. Penyakitnya merupakan bahaya bagi orang yang bekerja di daerah perburuan dan ancaman bagi pengunjung taman perburuan. Trypanosoma rhodesiense dapat diisolasi dari berbagai jenis binatang buruan (Bushbuck, Hertebeeste, Singa dll ) dan binatang peliharaan (sapi, domba). Trypanosomiasis rhodesia merupakan zoonosis, sehingga usaha pengendaliannya lebih sulit daripada Trypanosomiasis gambia. Mengurangi   dengan cara membunuh binatang buruan merupakan cara pengendalian yang utama. Usaha lain yang dilakukan adalah mengurangi kontak lalat dengan manusia di daerah endemi, mengurangi semak belukar di sekitar tempat tinggal manusia, penyemprotan dengan insektisida, jebakan lalat, dan pengobatan pencegahan untuk binatang peliharaan.
Di dunia dimana trypanosomiasis menjangkit lebih dari 10,000 kasus telah dilaporkan pada buku tahunan di Africa yang di kelompokkan menjadi 2 wilayah regional, yaitu : 1) SubSaharan Africa terdiri dari ; Angola, Benin, Burkina Faso, Burundi, Cameroon, Cape Verde, Central African Republic, Chad, Comoros, Congo, Democratic Republic of the Congo, Equatorial Guinea, Ethiopia, Gabon, Ghana, Guinea, Guinea-Bissau, Ivory Coast, Kenya, Liberia, Madagascar, Malawi, Mali, Mauritius, Mozambique, Nigeria, Reunion, Rwanda, Sao Tome and Principe, Senegal, Seychelles, Sierra Leone, Sudan, Togo, Uganda, United Republic of Tanzania, Zambia dan Zimbabwe. The transmission rate is very high in north-western Uganda, northern Angola, The Democratic Republic of the Congo (mainly Equateur and Bandundu) and southern Sudan. Ada resiko berarti dari infeksi untuk para pelancong yang berkunjung atau bekerja di daerah pedesaaan. 2) Southern Africa terdiri dari : Botswana dan Namibia. Trypanosoma rhodesiense adalah yang terbesar di bagian timur dan pusat Negara, sedangkan Trypanosoma gambiense terbesar menyerang di bagian barat wilayah negara Africa. 

Trypanosoma gambiense


Jenis penyakit tidur Afrika Barat (Gambia) yang disebabkan oleh Trypanosoma  gambiense pertama kali dilaporkan oleh Forde di tahun 1902 ketika organisme ini ditemukan dalam darah seorang kapten pelaut Eropa yang bekerja di Sungan Gambia ( Kean dkk, 1978 ).

Morfologi
Bentuk trypanosoma (trypomastigot) dapat ditemukan dalam darah, cairan serebrospinal (CSS), aspirasi kelenjar limfe, dan aspirasi caian dari chancre trypanosomal yang terbentuk pada tempat gigitan lalat tsetse. Bentuk tripomastigot berkembang biak secara belah pasang longitudinal. Organisme ini bersifat pleomorfik, pada satu sediaan hapus darah dapat terlihat aneka bentuk tripanosomal. Bentuknya berfariasi dari yang panjang, 30 µm atau lebih, langsing, dengan flagel yang panjang (tripomastigot ), sampai pada bentuk yang pendek kurang lebih 15 µm, gemuk tanpa flagel yang bebas.
Dalam darah bentuk trypanosoma tidak berwarna dan bergerak dengan cepat diantara sel darah merah. Membran bergelombang dan flagel mungkin terlihat pada organisme yang bererak lambat. Bentuk tripomastigot panjangnya 14 sampai 33 µm dan lebar 1,5 sampai 3,5 µm. dengan pulasan Giemsa dan Wright, sitoplasma tampak berwarna biru muda, dengan granula yang berwarna biru tua, mungkin terdapat vakuola. Inti yang terletak di tengah berwarna kemerahan. Pada ujung posterior terletak kinetoplas, yang juga berwarna kemerahan. Kinetoplas berisi benda parabasal dan bleparoflas, yang tidak mungkin dibedakan. Flagel muncul dari blefaroplas, demikian juga membran bergelombang. Flagel berjalan sepanjang tepi membran bergelombang sampai membaran bergelombang bersatu dengan badan trypanosoma pada ujung anterior organisme. Pada titik ini flagel menjadi bebas melewati badan trypanosoma. 

Bentuk trypanosoma akan ditelan lalat tsetse (Glosinna) ketika mengisap darah. Organisme akan berkembang biak di dalam lumen “mid gut“ dan “hind-gut“ lalat. Setelah kira – kira 2 minggu, organisme akan bermigrasi kembalai ke kelenjar ludah melalui hipofaring dan saluran kelenjar ludah; organisme kemudia akan melekat pada sel epitel saluran kelenjar ludah dan mengadakan transpormasi ke bentuk epimastigot. Pada bentuk epimastigot, inti terletak posterior dari kinetoplas, berbeda dengan tripomastigot, dimana inti terletak anterior dari kinetoplas.

Siklus Hidup
Organisme terus memperbanyak diri dan bentuk metasiklik (infektif) selama 2-5 hari dalam kelenjar ludah lalat tsetse,. Dengan terbentuknya metasiklik, lalat tsetse tersebut menjadi infektif dan dapat memasukkan bentuk ini dari kelenjar ludah ke dalam luka kulit pada saat lalat mengisap darah lagi. Seluruh siklus perkembangan dalam lalat tsetse membutuhkan waktu 3 minggu, Trypanosoma gambiense ditularkan oleh Glossina palpalis dan Glossina tachinoides, baik lalat tsetse betina maupun jantan dapat menularkan penyakit ini.

Pada waktu darah mamalia dihisap, oleh lalat tse tse yang infektif (genus Glossina) maka akan memasukkan metacyclic trypomastigotes kedalam jaringan kulit. Parasit–parasit akan masuk ke dalam sistem lymphatic dan ke dalam aliran darah (1).di dalam tubuh tuan rumah, mereka berubah menjadi trypomastigotes di dalam aliran darah. (2), dan ini akan dibawa ke sisi lain melalui tubuh, cairan darah kaya yang lain (e.g., lymph, spinal fluid), dan berlanjut bertambah banyak dengan binary fission (3). Segala siklus hidup dari African Trypanosomes telah ditampilkan pada tingkat ektra seluler. Lalat tsetse menjadi infektif dengan trypomastigotes dalam aliran darah  ketika mengisap darah mamalia yang terinfeksi (4), (5). Pada alat penghisap lalat parasit berubah menjadi procyclic trypomastigotes, bertambah banyak dengan binary fission (6), meninggalkan alat penghisap, dan berubah menjadi epimastigotes (7). Air liur lalat kaya akan epimastigotes dan pertambahan banyak berlanjut dengan  binary fission (8). Siklus dalam tubuh lalat berlangsung selama kurang lebih 3 minggu. Manusia merupakan reservoir utama untuk Trypanosoma gambiense, tetapi spesies in dapat selalu ditemukan pada binatang. 

Gejala Klinis
Setelah digigit oleh lalat tsetse yang infektif, stadium tripomastigot metasiklik yang masuk ke dalam kulit akan memperbanyak diri serta menimbulkan reaksi peradangan setempat. Beberapa hari kemudian, pada tempat tersebut dapat timbul nodul atau chancre (3-4 cm). Lesi primer ini tidak menetap dan akan menghilang setelah 1 – 2 minggu, nodul ini seringkali terlihat pada orang Eropa tetapi jarang pada penduduk setempat di daerah endemi.
Bentuk tripomastigot dapat ditemukan dalam cairan aspirasi ulkus tersebut. Bentuk tripomastigot dapat masuk ke dalam aliran darah, menyebabkan parasetemia ringan tanpa gejala klinik dan dapat berlangsung selama berbulan–bulan. Pada keadaan ini, parasit mungkin sulit ditemukan meskipun dengan pemeriksaan sediaan darah tebal. Selama masa ini, infeksi dapat sembuh sendiri tanpa gejala klinik atau kelainan pada kelenjar limfe.
Gejala pertama akan terlihat jelas bila terjadi invasi pada kelenjar limfe, diikuti dengan timbulnya demam remiten yang tidak teratur dan keluar keringat pada malam hari. Demam sering disertai dengan sakit kepala, malaise dan anoreksia. Periode demam yang berlangsung sampai satu minggu akan diikuti dengan periode tanpa demam yang waktunya bervariasi dan kemudian timbul lesi periode demam yang lain. Banyak tripomastiot ditemukan dalam peredaran darah pada saat demam tetapi pada saat tanpa demam jumlahnya sedikit. Kelenjar limfe yang membesar konsistensinya lunak, tidak nyeri. Meskipun dapat mengenai kelenjar limfe dimana saja, kelenjar limfe di daerah servikal posterior merupakan tempat yang paling sering terinfeksi (tanda Winterbottom) Bentuk tripomastigot dapat diaspirasi dari kelenjar limfe yang membesar. Selain kelenjar limfe, terjadi juga pembesaran pada limpa dan hati.
Pada Trypanosomiasis Gambia, stadium darah–limfe dapat berlansung bertahun–tahun sebelum timbul sindroma penyakit tidur. Pada orang berkulit cerah, ruam kulit berbentuk eritema yang tidak teratur (irregular erytematous skin rash) Eretema multiforme dapat terjadi 6 – 8 minggu setelah terjadi infeksi. Ruam akan hilang dalam beberapa jam, dan timbul serta hilangnya ruam ini terjadi pada periode demam. Sensasi terhadap rasa sakit pada pasien dapat berkurang.
Stadium penyakit tidur timbul setelah bentuk tripomstigot menginvasi susunan saraf pusat (SSP). Perubahan tingkah laku dan kepribadian terlihat selama invasi SSP. Gejala–gejala trypanosomiasis Gambia adalah meningoensepalitis progresif, apati, kebingungan, kelemahan, hilangnya koordinasi, dan somnolen. Pada fase terminal penyakitnya, pasien menjadi emasiasi, jatuh ke dalam koma dan meninggal, biasanya akibat infeksi sekunder. Penekanan daya tahan tubuh pada pasien trypanosomiasis Gambia ditunjukkan dengan menurunnya kekebalan seluler dan humoral.

Diagnosis 
Tanda–tanda kelainan fisik dan riwayat klinik sangat penting untuk menegakkan diagnosis. Gejala–gejala diagnostik termasuk demam yang tidak teratur, pembesaran kelenjar limfe (terutama di bagian segitiga servikal posterior, yang dikenal dengan tanda Winterbottom), berkurangnya sensori terhadap rasa sakit (tanda Kerandel), dan ruam kulit berupa eritema. Diagnosis ditegakkan dengan menemukan bentuk tripomastigot dalam darah, aspirasi kelenjar limfe, dan CSS.
Adanya periodesitas, menyebabkan jumlah parasit dalam darah akan berbeda–beda dan sejumlah teknik harus digunakan untuk menemukan bentuk tripomastigot. Selain sedian darah tipis dan tebal, dianjurkan menggunakan metode konsentrasi “buffy coat“ untuk menemukan parasit apabila jumlahnya sedikit. Parasit dapat ditemukan dalam sediaan darah tebal apabila jumlahnya lebih dari 2000/ ml, lebih dari 100/ml dengan konsentrasi pada tabung hematokrit, dan lebih dari 4/ ml dengan tabung penukar anion (anion exchange columm)  Lumsden dkk, 1981.

Pemeriksaan CSS harus dilakukan dengan medium sentrifuge. Bila jumlah tripomastigot dalam darah tidak terdeteksi, bentuk ini mungkin masih dapat ditemukan pada aspirasi kelenjar limfe yang meradang, namun untuk menemukannya secara histopatologi tidaklah praktis. Specimen darah dan CSS harus diperiksa selama pengobatan dan 1 hingga 2 bulsn setelah pengobatan.
Pemeriksaan serologis yang banyak digunakan untuk skrining epidemiologi adalah tes imunofluoresensi tidak langsung, ELISA, dan hemaglutinasi tidak langsung (Kakoma et.all, 1985; de Raadt dan Seed, 1977). Masalah besar pada serodiagnostik di daerah endemi yaitu banyaknya orang dengan kadar antibodi yang tinggi karena terpapar oleh tripanosoma yang tidak infektif bagi manusia. Konsentrasi IgM dalam serum dan CSS kurang mempunyai nilai diagnostik.
Isolasi Trypanosoma gambiense pada bintang percobaan dalam laboratorium yang kecil biasanya tidak berhasil, berbeda dengan Trypanosoma rhodesiense yang dapat menginfeksi binatang. Kultur umumnya tidak praktis untuk diagnostik.
Epidemiologi dan Pencegahan

Mastigofora (Trypanosoma)

Trypanosoma merupakan salah satu genus dari Hemoflagellata yang banyak terdapat dalam darah mamalia sebagai tripomostigot yang panjang. Jika dilihat dari spesies maka Trypanosoma yang menyebabkan penyakit pada manusia di bagi menjadi 3 golongan yaitu : Trypanosoma rhodesiense, Trypanosoma gambiense, Trypanosoma cruzi. Ketiga spesies ini tidak dapat dibedakan secara Morfologik tetapi berbeda secara Ekologik dan Epidemiologik. Penyakit yang disebabkan oleh ketiga spesies tersebut yaitu Tripanosomiasis tidak ditemukan di Indonesia.
Trypanosoma merupakan flagellata darah yang hidup dalam darah dan jaringan hospes manusia. Dalam siklus hidupnya melibatkan serangga dan mamalia. Trypanosomiasis Afrika terbatas pada sabuk lalat (fly belt) tse tse di Afrika Tengah, dimana penyakit ini bertanggung jawab dari berbagai hambatan serius dalam perkembangan ekonomi dan sosial di Afrika. Dalam daerah ini, sebagian besar lalat tsetse lebih menyukai darah binatang, sehingga hal ini akan membatasi meningkatnya persediaan ternak. Lebih dari 35 juta rakyat mempunyai resiko terkena trypanosomiasis Afrika, yang disebabkan oleh Trypanosoma gambiense dan Trypanosoma rhodesiense (Gibson et.all,1980). Morfologi umum dari trypanosoma dan kritidia seperti berikut ini.

Morfologi
Trypanosoma mempunyai ukuran 14-33 x 1,5-3,5 µm (rata-rata 15-20 µm) Membran bergelombang terdapat pada seluruh tubuh, mempunyai 1 flagella pada ujung anterior, kinetoplas letaknya lebih ke posterior dekat axonema, letak nukleus di tengah-tengah atau sentral. Bentuk ini terdapat di dalam tuan rumah perantara maupun sebenarnya. Trypanosoma  masuk didalam tuan rumah  perantara  pada waktu mengisap darah sebagai makanannya. Di dalam tubuh manusia Trypanosoma hidup ekstra sellul­er di dalam darah, limfe dan cairan otak. Terdapat granula spesifik, tidak berwarna, bergerak aktif, berkembang biak membe­lah memanjang, bila diwarnai dengan Giemsa atau Wright, inti akan ber­warna merah udang, dan sitoplasma berwarna biru.
Bentuk kritidia berukuran 15-20 µm (rata-rata 15 µm). Membran bergelombang terdapat pada bagian tubuh  kean­terior, kinetoplas letaknya lebih ketengah dengan axonema, letak nukleus di tengah-tengah, terdapat granula spesifik (seperti trypanosoma). Terdapat sebagai stadium sementara pada lalat Genus glossina untuk T.gambiense, T.rhodesiense, sedangkan untuk T.cruzi adalah serangga Genus triatoma. Berkembang biak membelah dua dan memanjang, dan di dalam kelenjar ludah lalat glossina tadi, kritidia tersebut mengalami metamorfose menjadi trypanosoma yang siap ditularkan.