Oleh: Rhenald Kasali
Saya sering tidak bisa menjawab pertanyaan wartawan tentang “kehebatan” strategi merek-merek yang sedang popular seperti Mie Sedaap, Lion Air atau Bread Talk. Tidak seperti pengamat lain yang ringan pujian, saya mungkin termasuk pengamat yang penuh kehati-hatian dalam berkomentar. Bukannya apa-apa, mereka masih terlalu dini untuk diberi pujian. Dibanyak Negara, termasuk di sini, lebih dari 60% produk baru hanya bisa bertahan maksimal dua tahun. Dan dalam tempo lima tahun, 80% akan hilang.
Mudah-mudahan mereka masuk yang sisanya, yaitu 20% yang bisa lanjut. Tapi melihat angka itu pun kita masih harus lebih berhati-hati. Pengalaman menunjukkan, 20% yang mampu bertahan bukanlah pelaku usaha yang melakukan “sprint” diputaran pertama lomba lari marathon. Sprinter yang lari melesat diputaran pertama biasanya menarik perhatian, tetapi nafasnya segera habis begitu memasuki putaran-putaran berikutnya. Untuk lari kencang ia membutuhkan dopping yang kuat. Tapi lama-lama doppingnya tidak bisa bekerja lagi dan tubuhnya akan loyo, lalu jatuh.
Kita sudah sering menyaksikan tontonan-tontonan hebat yang tidak “happy ending” Beberapa tahun lalu, publik dikejutkan oleh geliat produk shampoo “Beauty”. Setelah mengobrak-abrik pasar dan mendapat pujian, Beauty hilang tak tentu rimbanya. Konon, persoalan intern menghentikan laju langkah mereka. Kita sering juga pernah melihat keelokkan manuver Sempati Air yang memberikan banyak “Value” kepada customer-nya. Sempati bahkan begitu berani memberi kompensasi berupa denda diri (berupa Voucher) terhadap setiap keterlambatan yang terjadi. Langkah Sempati terpaksa berhenti sebelum go public dengan meninggalkan banyak hutang kala itu. Belakangan ini sejumlah Airlines baru melakukan kesalahan yang sama, grounded justru pada saat memperoleh kontrak-kontrak besar seperti pengangkutan jemaah haji. Di media cetak kita juga pernah menyaksikan gemerlapnya produk-produk terbitan Ika Muda Group (misalnya majalah Mode dan Prospek). Setelah melakukan pembajakan “crew” secara besar-besaran dan melohok pasar secara agresif, mereka pun segera kehabisan nafas dan hilang lagi. Semoga kesalahan-kesalahan ini tidak dialami oleh merek-merek populer yang baru.
Lantas apa biang keladi kegagalan itu semua?
Saya menduga, umumnya pemasar-pemasar baru itu tidak kenal betul marketing strategy yang benar. Barangkali mereka cuma baca berita di Koran, bahwa popularitas merek adalah fungsi dari “value”. Produk-produk diterima oleh pasar karena “value”. Tapi tak banyak yang tahu bahwa value berdimensi sangat luas. Yang mereka baca dari kasus-kasus yang diulas wartawan dan para pengamat adalah celebrity CEO yang mengelola celebrity (popular) brand, yang mengedepankan semata-mata customer value. Bahkan saya mendengar ada product manager yang berani membuang cuma-cuma Rp. 80 sampai 150 miliar untuk merebut customer pesaing-pesaingnya. Mereka sudah tak ubahnya seperti politisi yang baru kenal pemasaran yang “membeli” suara lewat operasi subuh. Maka ketika pemungutan suara harus diulang, tak ada satupun yang kembali.
“Creating Customer Value” pada dasarnya adalah pendekatan pemasaran yang marak pada tahun 90’an. Pendekatan ini lahir sebagai kelanjutan dari kepercayaan bahwa customer adalah raja, dan pesaing adalah “penjahat”. Secara terselubung, nuansa teori PIMS yang mengedepankan pentingnya penguasaan market share sangat dominan dirasakan. Dengan berbagai penelitian, ditemukanlah teknik-teknik seperti experiential marketing, emotional marketing dan sebagainya. Intinya, pemasar didorong memberikan “Value” yang sebesar-besarnya kepada pelanggannya. Di akhir periode, para pemegang saham tentu akan mendatangi Anda dan bertanya, “where is the beef” (mana untungnya?). Harap diingat “creating customer value” adalah cost dan untuk itu anda harus bijak memainkannya. Kalau karir pemasaran Anda dimulai dari dunia sales, Anda tentu akan banyak mengalami kesulitan memahami ini. Saya banyak menemukan kasus eksekutif yang tidak mampu menghitung HPP (harga pokok penjualan) bahkan menjual produknya di bawah HPP demi mencetak sales dan customer value. Kalau anda menggunakan emotional marketing dan experiential marketing, maka anda tak boleh main di pasar bawah. Consumer harus dipaksa membayar “value” itu, bukan menjadi beban perusahaan. Dalam, teori-teori pemasaran yang baru, objektif pemasaran memang sudah mulai berubah, dari creating customer value menjadi creating shareholder/ stakeholder value. Value ini tentu saja tidak harus diberikan dan difokuskan semata-mata pada customer, melainkan juga producer, shareholders dan society. Setidaknya ada tiga komponen (driver) yang turut menciptakan Value, yaitu Marketing (khususnya strong brand, customer loyalty, dan differensiasi), organisasi (strong culture, skills, leadership dan proses belajar) serta finance (investasi, pengendalian resiko, cash flow dsb). Maka strategi pemasaran tidak lagi difokuskan pada peningkatan pangsa pasar (penguasaan pasar), melainkan peningkatan dan pengelolaan marketing assets, khususnya intangibles. Pemasaran memang sedang mengalami reorientasi dari semata-mata pemasaran munuju general management.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar